Dasawarsa ini, sungguh eksentrik geliat religius yang menjangkit
bangsa kita setiap bulan Ramadan tiba, jilbab mendadak jadi trend
tersendiri. Jilbab pun dicampakkan ketika gemuruh bedug hari raya Idul
Fitri berlalu. Sehingga wajar diberlakukannya “honoris causa ‘Jilbab
Musiman’ ”. Fenomena apakah itu ?
Jilbab, dalam bahasa Arab lazim
disebut chijab(penutup aurat), orisinilitasnya adalah kewajiban(fardu
a’in) bagi setiap Muslimah bila berada di tempat terbuka yang
memungkinkan aurat(anggota badan)nya terlihat oleh orang lain atau bukan
muhrim.
Fenomena yang terjadi dan berkembang akhir-akhir ini, macam-macam
istilah jilbab, “visi dan misinya” pun beragam. Ada “Jilbab Gaul”, gelar
bagi para Muslimah yang mengenakan “kain jilbab’’ tapi sikapnya tidak
jelas, termasuk di siang hari bulan suci Ramadan ini, --dengan berkain
jilbab itu-- dirinya tak segan bercumbu dengan sembarang laki-laki di
tempat terbuka. Menjamur pula “Jilbab Politik”, biasa dikenakan oleh
para politisi setiap musim “Silaturrahim politik” ke berbagai pondok
pesantren, atau turun lapangan kampanye untuk megeruk simpati publik.
Atau “Jilbab Asmara”, pakaian sang gadis jelita demi untuk meraih cinta
sang pemuda tampan idamannya. Dan berbagai “jilbab” lainnya.
Terlepas
dari kepentingan dan kredibilitas religius (bathin) masing-masing yang
mengenakan “kain” jilbab, aspek etimologis itu semua sah-sah saja.
Karena jilbab secara bahasa adalah penutup (anggota lahir badan).
Jilbab KomersialSetiap
bulan Ramadan, sekilas sungguh mempesona pamor kibaran “kain” jilbab
yang dipancarkan oleh berbagai kalangan wanita. Dengan mode sedemikian
rupa bagusnya.
Hebohnya ! Mereka yang terbiasa bangga menggerakkan
dan memamerkan aurat badannya di berbagai media masa cetak dan
elektronik pun di bulan Ramadan ini mendadak “cuti” dari profesinya.
“Demi untuk memamerkan kain jilbabnya”. Spontan ngetrend "alih profesi"
berlomba memproklamirkan dirinya memakai aneka busana Muslimah dengan
harga tidak murah, untuk disaksikan oleh para penggemarnya sebagai
"selebritis taat beribadah !". Argumen singkat mereka "kita sangat
gembira menyambut bulan suci Ramadan".
Bahkan tak heran, banyak pula
wanita non-Muslimah ditunjang dengan modal kecantikan wajahnya,
sementara waktu "ikhlas menjadi bunglon" mengenakan kain jilbab, plus
secara terselubung gencar mengkampanyekan hedonis, membuat banyak orang
terpesona melihat "kain jilbabnya".
Seolah-olah mereka(artis) adalah
“wanita sholikhah” teladan bagi para Muslimah. Meskipun sejatinya hanya
mencari simpati demi meningkatkan rating tayangan film atau acara
tertentu "bereklame Islam" yang dibintangi oleh mereka setiap hari
ditayangkan di berbagai stasiun televisi pada bulan suci ini.
Anehnya
? Komunitas yang benar-benar berjilbab, dengan fasilitas hidup seadanya
pun, tanpa memfungsikan nalar ilmiah, tertipu dan terjebak ke dalam
kubangan hedonisme. Sekalian menjadikan gaya "Jilbab Musiman" para artis
yang penuh kepentingan itu,
sebagai panutan atau "kiblat” hidupnya.
Inilah di anatara poin negatifnya. Kalau fenomena-fenomena tersebut
terus terjadi, sungguh naif dan memilukan, bukan ?
Jilbab dan Puasa Perspektif
hukum fiqih, empat madzhab pokok ahlussunnah wal jama’ah(Hanafiyah,
Hanabilah, Malikiyah dan Syafi’iyah) konsesus(ittifaq) bahwa
kontinuitas memakai jilbab adalah elemen dari totalitas kewajiban(fardu
a’in) bagi setiap orang Islam, dan bukanlah merupakan syarat atau rukun
ibadah puasa.[1]
Kecuali aspek tasawwuf, sebagaimana opini Imam
al-Ghozali dalam kitab Ihya ulumuddin -nya, untuk menuju kondisi
kesempurnaan puasa(shaum al-khusus),[2] di antaranya adalah mengurangi
kemaksiatan, misalnya menutup aurat badan(berjilbab) itu. QS. al-Nur/24:
31 dan al-Ahzab/33: 59, adalah ayat yang tegas menyatakan kontinuitas
diwajibakannya berjilbab, “tidak hanya pada waktu tertentu, misalnya
hanya pada
bulan Ramadan saja”.
Maka semestinya, bagi komunitas
berjilab, terutama yang hanya ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab,
tidak perlu lah mempublikasikankan diri di berbagai media masa. Karena
asas kewajiban berjilbab : hanya karena menjalankan perintah Allah SWT
(lilla-Hi ta’ala). Bukan untuk disanjung dan dipuja oleh fans club
-nya.
Utamanya dalam kondisi beribadah puasa ini, harus menjauhkan
diri dari virus ria dan sum’ah(mencari sanjungan dan popularitas dalam
beribadah). Kalau hal tersebut bisa diterapkan, tentunya(insya Alloh)
akan bisa mengusung Muslimah menuju kesempurnaan berjilbab.
Beda
halnya yang ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab, mengeluarkan biaya
ekstra mengontrak berbagai media masa, untuk mempublikasikan
"jilbabnya".
Jelas, “jilbab –isme” yang demikian terkesan penuh
kepentingan. Atau paling “ikhlasnya” hanya dianggap mode berpakaian
sebagai intermeso (hedonisme-nya).
Realitasnya dapat diyakini,
sesuai kebiasaan dan profesi aslinya, ketika telah lewat hari raya Idul
Fitri yang semestinya hari awal kembalinya fitrah(kesucian manusia),
mereka pun kembali berlomba memamerkan aurat badan, sesuai inisiatif
produser film yang diperankan dan menguntungkannya. Bukan malah menjaga
ke-fitrahan-nya itu !
Mungkin bagi sebagian orang, “Jilbab Musiman”
dengan sarat kepentingan itu, lebih baik daripada kontinu seumur hidup
beryukensi plus rok mini. Akan tetapi, sesuai kewajiban syar’i(agama),
nalar dan naluri manusiawi. Betapa indah dan rapinya, jika jilbab itu,
kontinu(istiqomah) dipakai sepanjang masa, tidak hanya setiap bulan
Ramadan saja ? Sehingga dengan kontinuitas “berkain” jilbab itu,
mudah-mudahan tidak hanya badannya saja yang selalu ditutupi “kain”
jilbab, tapi juga menyebabkan akhlaknya akan benar-benar turut
berjilbab. Tidak seperti fenomena ironis yang telah kronis menjangkit
selama ini, di antara resikonya banyak orang berceletuk menyayat hati
kita “jilbab hanya kedok kemunafikan belaka”.
Firman Allah SWT, QS.
al-Baqoroh ayat 183, menurut para ulama tafsir, di antaranya Syeikh
al-Chozin(w 725. H), cakupan ayat tersebut menyatakan, “puasa adalah
sarana bagi manusia(beriman) untuk bisa mengusung diri menjadi bagian
dari golongan orang-orang yang bertakwa(la’allakum tattaqun)”.[3] Kadar
ketakwaan tersebut, tidak terbatas konteks jilbab, tapi totalitas
berbagai elemen dan aspek religius.
Ya ! Semoga dengan berkah bulan
suci Ramadan ini, berawal dari berkibarnya simbolis “Jilbab-isme
Musiman” itu, akan tercipta milyaran jilbab yang benar-benar jilbab,
murni atas amaliah agama. Tidak mencampakkan jilbab ketika bulan Ramadan
usai. Apakah ilmiah, realistis dan logis ?
*Nasrulloh
Afandi, Dewan Asatdiz PV. alumni pesantren Lirboyo Kediri, anggota
pembina pesantren Kedungwungu Krangkeng Indramayu; aktivis mahasiswa NU
di Marocco.
http://www.pesantrenvirtual.com
|
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !